JAKARTA, || Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK), angkat bicara mengenai polemik empat pulau yang tengah menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Dalam penjelasannya, JK menegaskan bahwa Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang, yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibanding Keputusan Menteri (Kepmen). Oleh karena itu, menurutnya, Kepmen tidak dapat membatalkan atau mengubah status wilayah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
JK menjelaskan bahwa pada tahun 1956, terbit Undang-Undang yang menandai pemisahan Aceh dari Sumatera Utara sebagai provinsi tersendiri. Proses pemisahan ini terjadi setelah adanya pemberontakan yang melibatkan rakyat Aceh. Dengan demikian, menurut JK, empat pulau yang tengah dipermasalahkan tersebut secara formal dan historis merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Lebih lanjut, JK menambahkan bahwa dalam perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tahun 2005, tidak pernah dibahas mengenai peta wilayah. Perundingan tersebut lebih fokus pada masalah perbatasan administratif. Oleh karena itu, JK menilai bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memicu polemik tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengubah status wilayah Aceh yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dalam kesempatan tersebut, JK juga didampingi oleh Sofyan Djalil, salah seorang anggota tim perunding Helsinki yang juga merupakan putra Aceh. Keduanya sepakat bahwa status wilayah Aceh harus dihormati sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan segala keputusan yang bertentangan dengan Undang-Undang harus ditinjau kembali.
Pernyataan JK ini diharapkan dapat memberikan pencerahan dan menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan polemik tersebut secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.**