JAKARTA,Kabar Baru Nusantara– Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) pasca deklarasi Anies Baswedan-Cak Imin, Sabtu (2/9). Anies plong karena saat ini tidak lagi “jomblo”. Sudah memiliki pasangan Pilres 2024. Cak Imin juga plong karena tak lagi sendiri, telah dipinang.
Bagaimana dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Ini yang cukup menarik. PKS juga pastinya plong. Meski kadernya belum terpilih sebagai pendamping Anies, namun PKS tidak baperan. Tak kecewa berat. Apalagi sampai “talak” dari KPP. Sebaliknya, partai kader yang dikenal santun ini mempertontonkan politik moral yang patut diacungi dua jempol.
Di satu sisi, PKS menghormati pikiran politik Nasdem dan membuka pintu seluas-luasnya atas kehadiran Cak Imin, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergabung ke KPP. Namun di sisi lain, PKS juga menghormati dan tetap membuka ruang komunikasi dengan Partai Demokrat (PD). Komunikasi PKS dengan PD, terbuka kapan dan di mana saja. Luar biasa, memang.
Sebagai partai “papan tengah” dengan modal suara cukup signifikan didukung kader yang loyal serta militan, kalau mau, PKS dapat saja berpindah ke “lain hati”. Tidak sedikit pula pinangan dari partai lain ke PKS untuk bergabung. Namun, semua tawaran tersebut, ditolak. Partai yang didukung kaum muda intelektual ini, tetap setia mengawal perubahan di KPP.
Satu lagi dari PKS yang patut setiap orang “angkat topi”. Penerimaan PKS terhadap proses masuknya PKB dan Cak Imin ke KPP disertai dengan “catatan”. Bukan catatan tentang berapa uang harus disetorkan. Bukan pula soal bagi-bagi kursi dan jabatan. Namun, catatan yang jauh lebih mulia dari itu, yaitu catatan tentang etika, adab dan moral dalam membangun koalisi dan komunikasi politik.
Secara inplisit, PKS memberi pesan kepada para elit dan partai pendukung yang tergabung dalam KPP pada khususnya dan pihak “pesaingnya” agar tidak sesekali menutup mata alias acuh tak acuh terhadap etika, adab dan moral, baik dalam menjalin koalisi dan komunikasi politik.
Seyogiannya, memanglah demikian. Politik, koalisi, komunikasi apa pun itu namanya, tidaklah semata-mata soal menang kalah. Bukan soal transaksional siapa dapat apa. Bukan pula soal berapa dapat jabatan Menteri, Dirjen, BUMN, Komisaris, eselon 1,2,3 dan seterusnya. Tapi yang jauh lebih esensi dan bernilai dari itu adalah etika, adab dan moral dalam menjalani proses politik.
Nilai-nilai etika, adab dan moral, tidak sekadar mengatur, tapi lebih dari itu membuat persaingan politik di negeri ini jauh lebih bermartabat dan bernilai. Hal ini dikarenakan setiap “pelaku politik”, baik elit dan simpatisan mentaati dan mematuhi nilai-nilai, etika, adab dan moral dalam setiap tahapan proses politiknya. Bila nilai-nilai etika dan adab koalisi ini dihormati, maka tidak ada lagi “praha politik” hingga PD menarik diri dari KPP.
Saya percaya keputusan PD “talak” dari KPP, bukanlah final. Dengan banyaknya jiwa negarawan di elit PD, Pak SBY, AHY dan lainnya, saya percaya PD akan kembali “rujuk” dengan KPP. “Cerainya” PD dari KPP bukan “talak 3”, tapi lebih merupakan “teguran sayang” agar mitranya di KPP, tidak mengabaikan nilai dan etika dalam berkoalisi.
Selebihnya, semua partai yang tergabung di KPP, Nasdem, PKS, PD dan kini PKB, banyak memiliki kesamaan visi dalam membangun negeri, yaitu mengubah yang keliru dan melanjutnya yang telah baik. Selamat merajut kembali “rumah tangga” KPP untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia ke depan dengan mengedepankan etika, adab dan moral dalam berpolitik.
Rivai Hutapea, Rawajati, Ahad 3 September 2023.